Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa

Kolom Mahasiswa

Oleh : Zulasfi waraihan *

Bagi beberapa individu, trauma masa kecil yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma.

Beberapa riset menemukan bahwa perilaku yang dimunculkan di usia dewasa berakar dari trauma yang dialami seseorang di masa kecil. Peristiwa yang dialami seorang anak dan sifatnya mengancam kehidupan merupakan hal-hal yang bisa membentuk perilaku-perilaku di masa dewasa. Pelecehan seksual, perundungan, atau kekerasan dari orang tua merupakan beberapa trauma masa kecil yang mengakibatkan stres pada anak dan dapat berdampak pada masa depan anak di usia dewasa (2017). Kumpulan trauma yang dialami anak di masa kecil akan menjadi luka psikis yang terus melekat dalam diri anak hingga ia dewasa (2017). Luka tersebut masih ada di alam bawah sadar sehingga bermanifestasi dalam bentuk perilaku dan emosi negatif, contohnya perasaan tidak dicintai oleh orang lain, tidak percaya diri, cemas, atau ingin mendominasi orang lain (2021).

Beberapa dampak yang berakar pada luka atau trauma masa lalu anak dapat muncul pada usia dewasa. Di antara dampak tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Kendala dalam mengatur emosi

Bagi beberapa individu, trauma masa kecil yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma. Menurut (2017), salah satu yang dapat muncul ketika seseorang mengalami kendala mengatur emosi adalah hyperarousal. Kondisi ini umumnya mengakibatkan seseorang tidak bisa mengatur emosi dengan baik karena adanya trauma di masa sebelumnya. Orang- orang dengan hyperarousal cenderung bereaksi berlebihan saat mengalami kondisi yang memicu stres dan kurang memikirkan tindakannya secara matang. Mereka juga cenderung mencari pelarian atau lari dari tanggung jawab. Selain itu, hyperarousal juga ditandai dengan kewaspadaan berlebihan.

  1. Kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi

Trauma masa kecil yang membekas di otak anak juga berdampak pada perkembangan otak. Studi yang dilakukan Suzuki et al (2014) menemukan bahwa anak-anak yang berada di usia 6- 12 tahun dan terus menerus mengalami kejadian traumatis yang memicu stres memiliki kortisol yang merespon lebih lemah dalam situasi yang memicu stres dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman traumatis. Hormon kortisol dihasilkan untuk mempersiapkan individu menghadapi hal yang dianggap sebagai ancaman (2021). Sementara itu, untuk menunjang perkembangan otak yang optimal, seseorang membutuhkan rasa aman dan terhindar dari stres ataupun pengalaman traumatik. Mereka yang memiliki trauma masa kecil merasa kegiatan belajar di sekolah menjadi hal yang sulit. Anak-anak tersebut akan sulit berkonsentrasi apalagi saat ingatan trauma kembali terngiang di kepalanya (2017).

  1. Kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain

Dalam kehidupan sehari-hari, trauma dapat memiliki dampak yang signifikan dan beragam pada fungsi sosial atau karakter seseorang. Berkaitan dengan trauma masa kecil, pada umumnya, masalah mental ini bisa berupa kondisi seseorang yang kurang mampu mengendalikan dirinya sendiri (2021). Oleh sebab itu, individu yang pernah memiliki trauma cenderung sulit menjalin relasi dengan orang lain. Kesulitan memiliki hubungan ditandai juga dengan perilaku orang tersebut yang menunjukkan sifat membutuhkan atau manipulatif, hingga perilaku agresif dan kekerasan.

Untuk berdamai dengan luka masa kecil yang dialami, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan individu, antara lain melakukan kegiatan yang dapat lebih mengenal inner child seperti, menulis jurnal, refleksi diri, melakukan kegiatan self-care, atau berkonsultasi pada para profesional.

*Mahasiswa PIAUD UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2022