- Mengetahui lebih dalam apa itu emosi marah dan takut - Agustus 12, 2023
- Upaya Melatih Kecerdasan Emosional Marah Pada Anak Usia Dini - Agustus 12, 2023
- Belajar lebih dalam tentang Emosi Negatif “Marah” - Agustus 9, 2023
Luthfiyah Rahadatul Aisy*
Drafin merupakan seorang anak yang berusia 8 bulan. Pada suatu hari ia tengah digendong oleh tantenya sebab ibunya hendak pergi bekerja. Namun, pada saat drafin melihat ke arah jendela yang mana ibunya tengah menaiki sepeda tetiba drafin merengek dan menangis. Sehingga ibunya menunda untuk berangkat kerja dan turun dari sepedanya kemudian menghampiri drafin. Disitulah tangis drafin berhenti dan mengulurkan kedua tangannya kepada ibunya untuk digendong. Dari cerita singkat tersebut, kelekatan sudah ditunjukkan oleh drafin kepada ibunya.
Jadi, kelekatan itu apa?
Kelekatan dapat dikatakan sebagai tingkah laku khusus pada manusia, dimana keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dan kepuasan dalam hubungan dengan orang lain. Selain itu, Santrock mengatakan bahwa kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang erat diantara dua orang (John Santrock, 2007). Ainsworth dalam Belsky, J. (1988) mengatakan bahwa melalui pengalaman bayi hubungan kelekatan akan berkembang dengan pengasuh pada awal tahun kehidupannya dan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia.
Munculnya kelekatan pada anak yakni ketika ia merasa kebutuhannya terpenuhi, baik secara fisik maupun psikis. Kelekatan dapat tercipta dari berbagai figur, karena kelekatan merupakan proses terjadinya hubungan yang sifatnya dua arah antara anak dan figur lekat yang mengalami perkembangan setiap saatnya. Proses ini bukan hanya bergantung pada bagaimana respon pengasuh, akan tetapi juga respon dari anak kepada pengasuh juga dapat memberikan pengaruh besar dalam hal mengembangkan kelekatan.
Menurut Bowlby kelekatan terbagi menjadi 4 fase, yaitu :
- Fase 1 ( usia 0-3 bulan)
Di bulan awal hidupnya, beragam jenis respon bayi ditunjukkan dengan cara yang sama kepada orang-orang disekitarnya (William Crain, 2007). Respon tersebut berupa senyuman kepada semua orang sembari menutup mata. Dari senyuman tersebut dapat mendekatkan kelekatan dengan pengasuhnya, selanjutnya dilanjutkan dengan berceloteh. Celotehan dan senyuman dari bayi yakni sebagai pemicu sosial yang berfungsi untuk mempertahankan figur ibu dalam kedekatannya dengan bayi dengan menunjukkan interaksi diantara mereka (John Bowlby, 1982).
- Fase 2 (usia 3-6 bulan)
Ketika masuk pada fase ini, maka si bayi akan membatasi senyuman hanya berfokus pada orang yang dikenalinya saja. Apabila si bayi melihat wajah yang tidak dikenalnya, maka si bayi akan diam saja.
- Fase 3 (usia 6 bulan hingga 3 tahun)
Ketika memasuki usia 6 bulan, kelekatan bayi pada orang tertentu menjadi semakin intens dan eksklusif. Namun, ketika memasuki usia 7 bulan bayi menunjukkan ketakutan pada orang asing disertai dengan tangisan yang keras dan pada saat usia 8 bulan sang bayi pun mulai mengikuti orangtua yang berjalan meninggalkannya.
- Fase 4 (usia 3 tahun hingga akhir masa kanak-kanak)
Dibawah umur 3 tahun konsentrasi anak hanya berfokus pada kebutuhannya sendiri dalam mempertahankan kedekatan pada pengasuhnya. Memasuki usia 3 tahun anak dapat memahami rencana dan membayangkan apa yang dia lakukan ketika orang tuanya sedang berpergian.
Menurut Bretherton dalam Aryanti, Z. (2017) kelekatan terbagi menjadi 2 bagian, yakni kelekatan yang aman (secure attachment) dan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment). Kelekatan yang aman dapat terjadi apabila ibu merespon kebutuhan anak dengan penuh kasih sayang. Apabila sejak kecil sudah dibiasakan untuk menjalin hidup yang harmonis, maka akan memudahkan anak untuk mengembangkan rasa memiliki serta mempercayai orang lain. Sedangkan kelekatan yang tidak aman menunjukkan pada tidak adanya atau kurangnya respon sinyal terhadap kebutuhan anak dan kontak fisik dengan anak.
Pengasuhan merupakan suatu proses mendidik dalam mengajarkan karakter, mengontrol diri, dan membentuk tingkah laku yang diinginkan (Muhammad, F., & Khorida, L. M. (2013). Adapun beberapa pola asuh yang biasa diterapkan oleh orang tua kepada anaknya, diantaranya : Pertama, Otoriter. Pada pola asuh model ini orang tua memaksakan anaknya untuk mengikuti keinginan dari kedua orang tuanya. Sehingga banyak aturan-aturan yang telah dibuat oleh orang tuanya dan harus dipatuhi oleh si anak tanpa mengetahui perasaan anak yang sebenarnya.
Kedua, Permisif. Pada model ini tidak ada batasan-batasan tingkah laku dan cenderung membebaskan anak untuk melakukan kegiatan yang diinginkannya. Ketiga, Demokratis. Pada model ini orang tua sangat menghargai keputusan anak, kepribadian, minat, dan pendapat anak. Dan Keempat, Diabaikan. Orang tua dengan pola asuh seperti ini kurang baik untuk diterapkan karena pada pola asuh ini orang tua sangat mengabaikan keberadaan anaknya dan tidak perduli kepada mereka.
Berhasilnya keluarga dalam menerapkan pola asuh yang baik dan berkualitas itu tergantung pada pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Kelekatan dan pola asuh pada anak merupakan hal yang penting sebab mencerminkan hal yang positif dari keduanya, kelekatan tersebut sebagai dasar dari bayi yang nantinya dapat mendukung perkembangan sosio-emosional yang sehat selama hidupnya. Anak yang melekat dengan aman (secure attachment) akan memiliki keberanian dalam mengeksplor meskipun tidak terlihat figur lekatnya akan tetapi anak mengerti bahwa figur lekatnya ada. Begitupun sebaliknya anak yang melekat dengan tidak aman, maka akan membuat anak tersebut menjadi minder dan tidak percaya diri apabila dalam situasi sosial, sehingga gerak anak menjadi terbatas untuk berinteraksi dengan lingkungan.
*Mahasiswi PIAUD Angkatan 2021