- Mengetahui lebih dalam apa itu emosi marah dan takut - Agustus 12, 2023
- Upaya Melatih Kecerdasan Emosional Marah Pada Anak Usia Dini - Agustus 12, 2023
- Belajar lebih dalam tentang Emosi Negatif “Marah” - Agustus 9, 2023
Oleh : Baiq Adelia Elsa*
Setiap orang pasti memiliki emosi, baik itu bayi maupun orang dewasa. Tidak mungkin seorang manusia tidak memiliki emosi. Bahkan hewan pun memiliki emosi.
Mengenal kata emosi dari para ahli!
Emosi menurut Santrock dalam Kusumawati (2020) adalah perasaan yang muncul ketika berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting. Sedangkan menurut Daniel Goleman emosi merupakan suatu yang merujuk pada perasaan dan pikiran, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Sukatin et al., 2020). Jadi emosi adalah suatu perasaan, pikiran, keadaan biologis dan psikologis yang muncul ketika berada dalam suatu keadaan atau interaksi.
Ada berapakah jenis emosi itu?
Emosi sendiri ada yang positif dan negatif. Biasanya, emosi positif lebih diterima dibandingkan emosi negatif. Kebanyakan orang menganggap emosi negatif tidak boleh diekspresikan dan harus dipaksa untuk ditekan atau dipendam. Contohnya, seorang anak yang dilarang untuk menangis oleh orang tua karena suatu hal. Padahal melalui menangis itu, anak mengekspresikan perasaan yang dirasakannya. Dan wajar-wajar saja bila seseorang merasakan emosi negatif.
Emosi negatif merupakan perasaan yang pasti dialami oleh setiap orang.
Contoh dari emosi positif yaitu emosi bahagia, percaya, cinta dan harapan. Sedangkan contoh dari emosi negatif yaitu takut, sedih, malu, kecewa, marah, dan gelisah. Serta masih banyak lagi emosi lainnya.
Sejak bayi, kita sudah dapat mengekspresikan. Baik melalui ekspresi wajah ataupun tingkah laku. Pada saat usia anak prasekolah, anak sudah dapat memahami emosi yang ada pada dirinya seperti merasa bahagia, bangga, sedih, kecewa, cemburu, takut, dan lain sebagainya. Anak memerlukan pengalaman emosi untuk mengontrol dirinya ketika mengekspresikan emosinya yang kuat (Anzani, Rahma & Insan, Intan Khairul, 2020, p. 185). Sehingga diperlukan pengarahan dari orang tua atau guru pada anak dalam mengontrol dan mengekspresikan emosinya. Dan seiring bertambahnya usia dan pengalaman anak, anak akan mampu mengontrol emosinya dan memahami emosi yang ada pada orang lain.
Selanjutnya, yang menjadi fokus pembahasan kita adalah emosi takut.
Apa itu emosi takut?
Menurut Jadunath dalam Hamzah & Wahid (2017), emosi takut merupakan kegelisahan berlebihan yang terjadi dalam pikiran. Rasa takut muncul karena berbagai sebab. Ada yang karena ketinggian, hal yang menyeramkan, kegelapan, ketika dalam hal bahaya, dan kesendirian. Namun, emosi takut ini sangat bermanfaat bagi manusia. Karena emosi takut membuat manusia lebih waspada pada segala hal yang mengancam dan lebih berhati-hati. Sedangkan emosi takut pada anak biasanya muncul ketika berada di tempat yang gelap, karena binatang yang menyeramkan, kesendirian, tempat yang tinggi dan bertemu orang baru atau orang yang menurut anak menyeramkan. Rasa takut juga dapat muncul pada anak karena imajinasinya sendiri.
Apa ciri-ciri orang yang mengalami rasa takut?
Ketika merasakan emosi takut, maka denyut jantung akan menjadi lebih cepat, wajah menjadi pucat, tubuh merasakan keringat dingin. Kemudian, perasaan yang dirasakan ketika takut yaitu rasa cemas, khawatir, waspada dan tidak tenang (Manizar, 2016, p. 10). Ketika merasakan takut, seseorang akan menjauhi hal-hal yang membuatnya takut, kabur, atau bersembunyi dari sumber ketakutan.
Kemudian orang yang merasakan takut, tubuhnya akan berjaga-jaga baik itu untuk berlari dalam menghindar dari sumber ketakutannya ataupun untuk melawan. Biasanya kaki atau tangan yang akan digunakan dalam berjaga-jaga akan terasa ringan. Seperti yang disebutkan oleh Pudjono (2016, p. 3) hal tersebut terjadi karena respon-respon yang telah digerakkan dan disusun ke hipotalamus yang ada di otak, akan memerintah kelenjar adrenal untuk melepas adrenalin atau epineprin ke dalam aliran darah yang menyebabkan denyut jantung meningkat, nafas pendek, dan glukosa dalam darah meningkat. Kemudian darah yang mengandung glukosa tersebut akan didistribusikan ke bagian tubuh yang memerlukan tenaga lebih seperti kaki yang digunakan untuk kabur dalam menghindar atau tangan untuk memukul dalam melawan. Pada ciri ini kita dapat mengambil contoh pada pengalaman saya sendiri ketika gempa yang terjadi di Lombok 5 tahun silam. Ketika gempa terjadi pada dini hari, semua orang merasa ketakutan hingga kaki yang biasanya terasa berat jika digunakan berlari ketika baru bangun tidur, menjadi lebih ringan dan lari menjadi semakin lebih kencang dari biasanya.
Sedangkan emosi takut yang terjadi pada anak, akan menyebablan tubuh anak merasakan seperti yang telah disebutkan di atas tadi. Anak akan menangis, menjauhi hal yang membuatnya takut, kabur, dan menempel pada orang tua, guru atau orang yang dipercayanya yang dapat memberikan rasa aman padanya.
Apakah rasa takut itu dapat di kelola?
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengelola emosi, baik pada anak maupun orang dewasa. Diantaranya, memberikan semangat, mengalihkan perasaan takut, memberikan kesempatan untuk menenangkan diri, dan berdoa (Aviska et al., n.d.)
*Mahasiswa PIAUD UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2022