Kelola Emosi dengan Tetap Percaya Diri

Kolom Mahasiswa

Fathinatus Su’da*

Yakinkah bahwa setiap orang itu memiliki percaya diri?

Seorang mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari bernama Rina, baru-baru ini mencuri perhatian publik atas keberhasilan Rina mengabaikan semua ejekan tentang kekurangan dirinya. Dengan percaya diri dan dukungan orang tua, Rina pun bisa meraih cita-citanya.

“Untuk kalian yang punya keistimewaan seperti aku, jangan putus asa, jangan insecure, kalian itu harus percaya diri karena kalau tidak, pasti kalian tidak bisa menggapai cita-cita kalian” katanya

Berdasarkan hasil riset Women’s Confidence Survey in Asia’ regional yang dilakukan A.S. Watson Group menunjukan, bahwa hampir 50% wanita di Asia tidak percaya diri tentang diri mereka sendiri di tempat kerja dan dalam kehidupannya.

Lalu apa yang harus kamu lakukan untuk menimbulkan rasa percaya diri itu?

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah kita harus memahami diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita harus sadar bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain dan bersyukurlah dengan apa adanya dirimu.

Kenapa kita harus memiliki kesadaran diri?

Kesadaran diri adalah salah satu kunci awal untuk mencapai kesuksesan dimana semua orang yang sukses itu pasti mempunyai kesadaran diri yang tinggi. Namun kesuksesan tidak hanya dengan kesadaran diri saja, kesuksesan dapat dicapai melalui manajemen diri. Manajemen diri merupakan upaya yang dilakukan untuk mengendalikan diri kita sendiri baik secara fisik maupun psikis. Contohnya saja ketika kita sedang mengelola emosi kita sendiri.

Maksudnya bagaimana?

Mengelola emosi sama halnya dengan mengontrol keadaan emosi kita. Emosi itu bukan hanya marah saja, namun emosi yang dimaksud adalah keadaan yang sedang kita rasakan seperti kebahagiaan, kesedihan, kemarahan dan lain-lain. Nah, contoh-contoh tersebut termasuk dalam teori emosi dasar.

Memang ada berapa emosi dasar itu?

Hasil studi yang dilakukan oleh University of California dalam Oh Joy! Berkeley consults on inside Out emotions telah mengidentifikasi bahwa terdapat 27 kategori emosi yang berbeda. Happiness and Joy merupakan salah satu dari beberapa kategori tersebut. Apakah Happiness and Joy itu? Happiness and Joy atau yang artinya kebahagian dan kegembiraan merupakan keadaan seseorang yang melibatkan emosi positif dan mengekspresikan perasaannya melalui mimik wajah, suara, dan gerakan fisik.

Coba kamu pikirkan Happiness and Joy itu seperti apa?

Terdapat beberapa ekspresi perilaku dalam Happiness and Joy salah satu diantaranya adalah tersenyum. Pasti sudah pada tahu kan kalau tersenyum itu menunjukkan ekspresi bahagia dan gembira. Tersenyum bisa dijadikan komunikasi emosional dengan orang lain yang membuat interaksi sosial tetap terjaga. Nah, ternyata tersenyum itu berbeda-beda loh setiap usianya.

Seperti senyum awal yang terjadi pada bayi baru lahir yang sering terjadi ketika sedang tidur atau bisa juga ketika mengantuk dan dalam keadaan waspada. Namun senyum tersebut terjadi tanpa adanya keterlibatan lingkungan dan interaksi sosial. Jadi tidak bisa disimpulkan bahwa senyum tersebut merupakan emosi yang menyenangkan.

Berbeda dengan senyum pada usia 1-2 bulan yang merupakan awal transisi dari senyum awal ke senyum sosial di mana senyum yang terjadi secara sadar atau terjaga, contohnya anak tertawa ketika menatap pengasuhnya. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil analis yang dilakukan Universitas Carnegie Mellon, Institut Robotika.

Lanjut ke usia 2-6 bulan yang mengalami banyak perkembangan yang menjadikan bayi untuk memulai senyumnya dan mulai menanggapi senyum lawan bicaranya. Orang tua juga sering menancing tawa anak dengan menyentuh bayi sambil tersenyum dan tertawa yang membuat anak ikut tersenyum dan tertawa.

Dan terakhir, pada usia 6-18 bulan ini perkembangan senyum bayi semakin meningkat seiring dengan keterlibatan aktif lawan bicaranya. Bayi juga bisa mengungkapkan kebahagiaan serta kegembiraannya sambil merujuk objek-objek yang berada di lingkungan sekitarnya seperti mainan.

Happiness and Joy ini sangat mempengaruhi perkembangan sosial anak di mana interaksi yang dialaminya dengan seseorang memberikan pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensi sosial yang berkembang hingga masa kanak-kanak.

Adapun ciri-ciri Happiness and Joy diantaranya bisa mengendalikan dan menghargai dirinya, dan bersifat optimis serta terbuka.

Selain Happiness and Joy, Sadness juga merupakan salah satu emosi dasar yang terjadi sebab pengalaman yang tidak menyenangkan seperti kehilangan. Sadness bisa dicirikan dengan menarik diri yang sebenarnya menunjukan tanda bahwa kita butuh dukungan. Contohnya saja seperti orang tua yang kurang peduli akan kesedihan anak. Hal tersebut menjadikan anak tidak tahu kepada siapa mereka mengekspresikan kesedihan mereka.

Apa aja macam-macam Sadness?

Pertama, kesedihan Adaptif di mana kesedihan ini lama-kelamaan akan berkurang dan bahkan hilang seiring berjalannya waktu. Contohnya ketika sedang berkabung.

Kedua, kesedihan Maladaptive di mana kesedihan ini termasuk ke dalam kesedihan yang berkelanjutan karena tidak dapat diterima sepenuhnya.

Ketiga, kesedihan Patologi di mana kesedihan dalam jangka waktu yang tidak bisa kita ukur karena selalu mengingat pengalaman yang terjadi.

Terakhir, kesedihan Instrumental di mana kesedihan ini cenderung tidak mengekspresikan emosinya dan bisa mengedalikan perasaannya.

Ada atau tidak faktor yang menghambat sadness?

Tentu saja ada, diantaranya adalah umur di mana faktor yang menghambat antara bayi, anak usia sd, dan remaja berbeda, jenis kelamin dimana keterkaitan orang tua dalam perbedaan gender sangat berbeda. Orangtua cenderung lebih perhatian terhadap kesedihan anak laki-laki. Namun biasanya, ayah lebih perhatian ke anak perempuan sedangkan ibu lebih perhatian ke anak laki-laki.

Selanjutnya temperamen, orang tua akan lebih bereaksi terhadap anak yang sering menunjukan ekspresi sedih dengan menggunakan bahasa yang membimbing. Lalu kompetensi emotional di mana anak yang memiliki emosi yang kuat kurang sensitif terhadap reaksi orang tuanya. Sedangkan anak yang menunjukan kesedihan yang tinggi itu kurangnya pembinaan emosi dari orang tuanya.

Terakhir, lingkungan atipikal yang bisa dipahami dengan faktor lingkungannya. Seperti anak yang mempunyai masalah psikologis akan berbeda dengan anak yang disesuaikan dengan baik. Ada juga anak yang dianiaya akan berbeda dengan anak yang tidak. Maka dari itu konteks lingkungan ini merupakan faktor yang sangat perlu dipertimbangkan.

*Mahasiswa PIAUD UIN Malang Angkatan 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *