Menjelajahi Emosi Malu Pada Anak Usia Dini

Kolom Mahasiswa

Oleh: Shella Aviska*

Lingkungan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak. Jika lingkungan anak baik, maka akan berkembang kepribadian yang positif pada diri anak. Dan sebaliknya, jika lingkungan anak tidak baik, maka perkembangan anak akan mengarah pada kepribadian yang negatif.

Perkembangan emosi anak meliputi, mengenali emosi dan perasaan yang mereka rasakan, memahami bagaimana dan mengapa emosi tersebut muncul, mengenali emosi mereka sendiri dan emosi orang lain, serta mengembangkan cara yang efektif untuk mengelolanya. Seiring pertumbuhan anak, perkembangan emosinya juga menjadi semakin rumit dengan pengalaman yang didapat.

Masa kanak-kanak juga dikenal sebagai masa kritis perkembangan atau masa emas (Golden Age). Pada tahap ini, sebagian besar jaringan sel otak berperan mengendalikan semua aktivitas dan kualitas manusia. Hakekatnya, anak usia dini adalah individu yang unik dimana ia memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosial emosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi  khusus yang sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut (Augusta, 2012).

Campos mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau kasih sayang terjadi ketika seseorang dalam keadaan yang dianggap penting bagi individu (Santrock, 2007). Emosi diekspresikan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan dalam menghadapi situasi atau interaksi dalam bentuk senang, takut, marah, dll.

Suasana atau lingkungan keluarga yang nyaman, tenang, dan penuh pengertian antara  satu sama lain akan membuat anak berkembang dengan ceria, lincah, bersemangat, dan kecerdasannya akan berkembang dengan baik. Jika suasana gembira ini diteruskan, maka perkembangan kepribadian anak usia 6 sampai 9 tahun akan tetap positif. Sebaliknya, orang tua atau pengasuh sering mengkritik, memarahi, dan memukuli anak, akan menyebabkan perkembangan anak mengarah pada kepribadian yang negatif. Ia merasa orang tuanya membencinya, merasa dirinya tidak berharga, dan takut bergaul dengan orang lain. Hal ini akan menimbulkan pemikiran bahwa orang yang dekat dengannya pun membencinya apalagi orang  lain.

Emosi malu muncul ketika seorang anak merasa bahwa standar atau tujuan tertentu tidak dapat dipenuhi. Anak pemalu sering berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang ketika berada pada situasi tersebut. Dan secara umum, rasa malu lebih disebabkan oleh interpretasi pribadi atas peristiwa tertentu. Berdasarkan ciri fisik, ketika mengalami emosi malu anak akan terlihat mengerutkan kening seolah-olah untuk menghindari mata orang lain.

Berdasarkan tinjauan psikologis, istilah malu diartikan dengan emosi yang muncul dari ketidaksadaran terhadap sesuatu yang tidak berharga, menggelikan, tidak pantas, aib, atau keadaan diri seseorang pada orang yang memiliki kehormatan, atau ketika sedang berada dalam situasi yang melanggar kesopanan (Paul, 2003). Menurut Hurlock, rasa malu adalah ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal. Rasa malu ini selalu disebabkan oleh sesama manusia.

Pada bayi, rasa malu akan dimiliki pada usia di atas 6 bulan. Alasannya, karena pada usia ini bayi telah mengenal orang yang sering dilihatnya dan orang yang asing. Kemudian, pada usia prasekolah, anak sudah mampu menampilkan ekspresi wajah yang mengekspresikan rasa bangga, malu, jijik, dan rasa bersalah yang tidak terlihat pada bayi dan balita. Mereka mampu menampilkan ekspresi yang lebih kompleks dan kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif yang memungkinkan mereka untuk mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut.

Banyak hal yang dapat menyebabkan anak menjadi pemalu di masa kecil. Penyebab tersebut antara lain,  masa kecil sering dihina orang lain, stigma negatif masa kecil, sikap pilih kasih orang tua atau   pendidik PAUD, kecacatan fisik, dan faktor ekonomi orang tua. Anak yang telah mengalami beberapa penyebab tersebut, akan menyebabkannya menjadi tidak nyaman dengan lingkungan baru dan mencoba menutup diri sebagai bentuk protes. Tentu saja, ini berpengaruh pada perkembangan anak seperti, kurangnya kemampuan mengungkapkan keinginan menggunakan bahasa yang dimengerti, kurangnya eksplorasi tubuh melalui aktivitas fisik karena takut untuk berpartisipasi dalam kegiatan bermain dan belajar bebas bersama anak lain, serta mengalami tingkat kecerdasan sosial yang lebih rendah karena anak tersebut merasa nyaman mengisolasi diri dari teman yang seusia dengannya. Dan hal ini akan menyebabkan anak kehilangan pengalaman berharga dalam membangun identitasnya sendiri.

Jika eksplorasi anak dianggap tidak menyenangkan, sampai-sampai dia sering mendengar kata-kata “Jangan, nanti jatuh”, “Awas bahaya”, “Jangan gitu, bikin malu aja”, anak akan tumbuh menjadi anak peragu yang menyerahkan keputusan tentang dirinya kepada orang lain, sehingga menyebabkan anak menjadi tidak mandiri, pemalu, serta selalu merasa bersalah.

Kata pemalu sendiri berasal dari kata “malu”. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, istilah malu adalah merasa sangat tidak bahagia, rendah diri, hina karena melakukan sesuatu yang tidak baik atau tidak sempurna. Sikap pemalu dan malu adalah dua hal berbeda. Sikap pemalu adalah kondisi yang dibentuk, sedangkan rasa malu terjadi pada waktu tertentu atau dalam keadaan tertentu.

Orang tua memiliki peran penting dalam membantu anak mengelola emosinya. Berhasil atau tidaknya tergantung bagaimana orang tua berbicara dengan anak tentang emosi dan  pendekatan yang digunakan, apakah melatih anak mengelola emosinya atau malah mengajarkan anak untuk mengabaikan emosinya. Perbedaan kedua pendekatan ini dapat dilihat dari cara orang tua menangani emosi anak. Orang tua yang melatih emosi (Emotion Coaching Parents) akan memantau emosi anak dengan melihat emosi negatif anak sebagai kesempatan untuk mengajari anak  memberi label emosi dan melatih anak menangani emosi secara efektif.

Selain itu, bermain dengan teman sebaya juga dapat mengatasi emosi malu pada anak. Anak yang bermain akan mendapatkan kesempatan mengembangkan kepercayaan diri mereka dan menguasai kenyataan sebagai struktur nyata mereka sendiri dengan menguasai perasaan dan gerak hati untuk berjuang dengan sebuah perasaan baik dan buruk. Bermain juga dapat mendorong interaksi sosial anak. Anak akan belajar berunding, menyelesaikan konflik, menyelesaikan masalah, saling bergaul, bersabar, mengambil giliran, bekerjasama ketika bermain dengan temannya.

*Mahasiswa PIAUD UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *